Jadilah Orang Hidup Yang Hidup Bukan Orang Hidup Yang Mati. Jadilah Pula Orang Mati Yang Hidup Bukan Orang Mati Yang Mati.

edukonten. Diberdayakan oleh Blogger.

2010/08/14

Kondisi Pendidikan di Indonesia

oleh: Prof. Budi Darma (Guru Besar Unesa)
pokok-pokok pikiran dalam Seminar Dari Guru Untuk Guru, diselenggarakan oleh Dwijakarya dan Surabaya Post, di Ruang Lebah Biru PT. Telkom Divre V, Minggu, 7 Juni 2009

Mutu
Pada hari Minggu, 24 Mei 2009, bertempat di Gedung Kesenian Jakarta, Bale Sastra Kecapi bekerjasama dengan Federasi Teater Indonesia menyelenggarakan sebuah panel antara budayawan dan para pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Panel diselenggarakan antara lain untuk mengetahui kebijakan para calon itu dalam masalah kebudayaan seandainya mereka terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 8 Juli 2009. Berbagai masalah kebudayaan dibicarakan dalam panel tersebut, baik yang bersifat makro maupun yang bersifat mikro.

Karena pendidikan pada hakikatnya berada di bawah payung kebudayaan, maka berbagai masalah pendidikan pun muncul. Salah satu masalah pendidikan yang dipertanyakan adalah kebijakan mengenai Ujian Nasional. Oleh salah satu pasangan calon dijelaskan, bahwa pendidikan harus mempunyai standard, dan acuan standard adalah mutu. Jangan sampai, katanya, belajar dan tidak belajar sama saja, yaitu sama-sama lulusnya. Karena waktu amat terbatas, permasalahan Ujian Nasional ini, dalam panel itu, tidak mungkin digali lebih jauh.

Pendidikan, memang, mau tidak mau pasti berkaitan dengan mutu, apalagi, ketika kita sudah terikat pada kesepakatan-kesepakatan internasional. Salah satu butir kesepakan itu adalah, dalam pengelolaan pendidikan, individu-individu dan lembaga-lembaga asing diperbolehkan masuk ke Indonesia. Akibat-akibat kesepakatan-kesepakatan ini jelas, yaitu, dunia makin terbuka terhadap persaingan dalam masalah apa pun, termasuk masalah pendidikan. Persaingan dengan kekuatan-kekuatan asing bukan hanya terjadi di luar Indonesia, tapi juga di Indonesia sendiri. Maka, hukum “survival of the fittest”pun, mau tidak mau pasti berlaku.

Jalan pintas

Pada waktu masih berkuasa, Bung Karno mempunyai cita-cita luhur untuk menjadikan bangsa Indonesia bukan sekedar “bangsa tempe,” tapi bangsa yang bermartabat. Untuk menuju ke taraf bangsa yang bermartabat, Bung Karno menempuh berbagai cara, antara lain melalui pendidikan tinggi. Dalam sebuah instruksi melalui Kementerian PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan), Bung Karno menyatakan bahwa dalam jangka waktu lima tahun (sejak tahun awal tahun 1960-an), Indonesia harus memiliki mahasiswa paling sedikit satu persen dari jumlah penduduk. Pada waktu itu, jumlah universitas masih sangat terbatas, yaitu UI, UGM, ITB, IPB, dan Unair. Karena itu, di setiap ibu kota propinsi harus ada universitas negerinya. Maksud luhur ini tidak lepas dari efek samping, yaitu orientasi kualitas dikalahkan oleh orientasi kuantitas.
Dengan alasan berbeda, pada waktu Presiden Soeharto berkuasa, jumlah mahasiswa juga digelembungkan. Menurut pengakuan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, Prof. Soekaji Ranoewihardjo, beberapa kali Presiden Soeharto memberi instruksi lesan, agar jumlah mahasiswa ditambah. Alasannya sederhana: jumlah lulusan Sekolah Menengah Atas sangat banyak, dan karena itu tidak mungkin terserap oleh pasaran kerja. Orientasi kualitas, sekali lagi, dikalahkan oleh orientasi kuantitas. Pengangguran, dengan demikian, untuk sementara ditunda.

Karena program Keluarga Berencana baru dilaksanakan dengan efektif pada tahun 1970-an, sampai dengan awal tahun 1990-an jumlah siswa dan mahasiswa kurang bisa dikendalikan. Semua klas harus diisi dengan jumlah siswa yang melebihi kapasitas klas, dan karena itu tidak mungkin untuk tidak menaikkan siswa ke klas yang lebih tinggi, dan tidak mungkin untuk tidak meluluskan siswa ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Meskipun resminya ada ujian kenaikan klas dan ujian untuk kelulusan, kenyataannya semua siswa naik klas dan semua siswa lulus.

Jalan pintas untuk mengatasi masalah kompleks ini diperparah lagi oleh sebuah paradigma yang tercipta pada waktu Daoed Joesoef menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut paradigma ini, pada hakikatnya tidak ada siswa bodoh, dan tidak ada pula mahasiswa bodoh. Mahasiswa pasti tidak bodoh, karena apa pun yang terjadi, mahasiswa sudah lulus Sekolah Menengah Atas. Siswa Sekolah Menengah Atas pun tidak mungkin bodoh, karena siswa ini sudah lulus Sekolah Menengah Pertama, dan demikianlah seterusnya. Anak Sekolah Dasar pun tidak mungkin bodoh, karena kalau bodoh, tidak mungkin dia diterima di Sekolah Dasar.

Kalau ada siswa tidak naik klas atau tidak lulus untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, maka, menurut paradigma ini, biang keladinya tidak lain adalah kebodohan gurunya. Lalu, kalau sampai ada mahasiswa tidak lulus, maka, menurut paradigma ini pula, dosennya pasti bodoh. Paradigma ini, dengan sendirinya, memicu apatisme: untuk apa belajar tokh saya mesti naik klas, apa gunanya saya belajar, sebab tanpa belajar pun aku pasti lulus. Pola pikir guru dan dosen pun, dengan sendirinya, ikut terkondisikan oleh paradigma ini: untuk apa saya bekerja keras, tokh tugas saya hanya menaikkan siswa ke klas yang lebih tinggi dan meluluskan siswa untuk bisa ditampng di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Jumlah siswa dan mahasiswa baru dapat agak terkendali pada awal tahun 1990-an, ketika hasil program Keluarga Berencana sudah mulai tampak. Meskipun demikian, pada hakikatnya pendidikan masih bersifat massal: ratio guru-siswa kurang seimbang, demikian pula ratio dosen-mahasiswa. Desakan untuk menaikkan dan meluluskan siswa dan mahasiswa “secepat-cepatnya” dan “sebanyak-banyaknya” masih sangat terasa.
Untuk membaca lebih lengkap materi ini, silahkan download pada link download di samping

0 komentar:

Posting Komentar