Saat itu, ada seorang kawan yang mengirimkan tulisannya untuk bisa diterbitkan di salah satu kolom pada sebuah media online di daerah Sidoarjo. Kolom Suara Guru namanya. Bukan tiba-tiba ia mengirimkan tulisannya itu. Sayalah yang memang dengan sengaja memintanya agar bersedia untuk mengirimkan tulisan-tulisannya tentang pendidikan, bahkan saya pun mengajaknya untuk menjadi pengelola kolom Suara Guru di Infosidoarjo.com yang kebetulan juga milik saya.
Tak disangka tulisan itu diterima dengan sangat baik oleh para pembaca. Bahkan ratingnya pun mengalahkan semua tulisan-tulisan berita yang selama ini diterbitkan. Terlihat dari jumlah "klik" pada tulisan itu yang terus bertambah (maaf, tidak saya beritahukan berapa jumlahnya, privasi).
Oleh karena itu saya ingin para pembaca blog ini juga dapat menikmati dan merenungkan nilai-nilai hikmah yang ada pada tulisan itu. Bagi para pembaca yang ingin mengabadikannya dalam bentuk cetak juga dapat mendownloadnya pada link yang telah disediakan (disamping). Akhirnya, selamat menikmati.
SURAT UNTUK GURU
Harapan dari orang tua siswa
*Oleh: Ahmad Shobirin, S. Pd.
Hari itu adalah hari libur, membuat saya merasa rindu untuk membuka dan membaca kembali buku-buku yang pernah saya beli dikala mahasiswa. Maklum, semenjak menjadi Guru saya jadi jarang membaca buku-buku lain selain buku-buku pelajaran yang akan disampaiakan kepada para Siswa. Tugas-tugas administrasi sekolah juga sebagai salah satu penyebabnya.Salah satu buku yang menginspirasiku dan membuatku bersemangat untuk tidak menjadi guru yang biasa saja yaitu buku yang ditulis oleh Eko Prasetyo “GURU: MENDIDIK ITU MELAWAN”. Di dalam bukunya itu ia menuliskan surat dari seorang wali murid yang ditujukan kepada ibu guru yang mendidik putranya. Isinya menyadarkan saya tentang bagaimana seharusnya seorang guru. Beginilah yang dituliskannya:
[]
Surat untuk ibu guru
Yang sekarang mendidik putraku
Ibu guru yang baik, saya titipkan anak saya kepada anda. Saya lakukan ini degan ketulusan, kebanggaan dan perasaan was-was. Maklumlah sebagai orang tua saya terlalu cemas dengan dirinya. Saya ingat ketika masa-masa ia baru hadir ke dunia ini; tangisan dan tawanya menjadikan kami tenggelam dalam perasaan haru. Kini waktunya ia sekolah dan kami percayakan, putera kami sepenuhnya kepada anda. Sebagaimana dulu ibu dan ayah saya mempercayakan kepada anda ibu guru.
Ibu guru tahu, ia punya harta yang tak ternilai harganya, yaitu keterusterangan. Kalau ia tak suka sesuatu ia tak ragu berpendapat. Ini adalah bakat alamiah yang dipunyai oleh semua anak. Saya ingin ibu menjaga sikapnya itu. Kami ingin ibu memandunya dan melatihnya untuk berani bicara jujur dan terus terang. Lewat surat ini kami ingin berbagi pengalaman dan saran dalam memahami putera kami.
Pertama-tama, saya meminta ibu guru untuk menjaga dan menghargai sikapnya itu, ibu tahu, anak saya mungkin tidak tergolong pintar, tapi sikap keterustaangannya itu, jika dipahat dan diperkuat maka ia sama pintarnya dengan yang lain. Semangat anak saya akan menyala-nyala jika jika ibu guru murah dalam memuji dan memberi dukungan; dan akan menyusut jika ia terlalu banyak diremehkan dan dibohongi. Beritahukan kepadanya apapun yang ditanyakan dan kami berharap ibu tidak marah,kalau suatu saat nanti putra kami mengkritik ibu guru. Pertanyaan adalah kesukaannya, dan kami berharap ibu menjaganya dan tetap memberi iklim yang membuat kepampuannya bertanya itu hidup dan tumbuh.
Terus terangnlah tentang apa yang ibu guru ketahui. Kami ingin putra kami bisa belajar tentang kenyataan hidup yang sebenarnya. Walau kenyatan itu menyakitkan tapi katakanlah yang sesungguhnya pada mereka. Saya ingin ibu guru melatihnya untuk tetap optimis melihat realitas yang buram dan menyalakan api semangatnya untuk terus belajar. Sikap terus terang dari ibu guru akan memberinya kekuatan dalam melawan kejamnya realitas kehidupan dan sesekali berikan kepercayaan kecil padanya, untuk malakukan pekerjaan-pekerjaan tangan. Saya ingin ibu guru melatih kemandiriannya supaya tumbuh rasa percaya dirinya. Saya tidak ingin ibu guru menjadikan dirinya anak yang sempurna tapi tidak berpeluh keringat, ia harus bisa dan mampu melakukan pekerjaan tangan apapun.
Ibu guru kami yang baik, langkah anak kami yang masih rapuh ini butuh bimbingan dan arahanmu. Tolong beri dia semangat saat mencari jalan untuk maju, saat dia merangkak ketika dia seharusnya berlari dan saat dia diam ketika dia tahu dia harus memimpin. Dia masih terlalu muda, jadi segala sesuatu yang wajar kalau dia tidak begitu konsisten. Dia masih belia, jadi sesuatu yang normal jika kadang terlalu nekad. Dia masih terlalu hijau, jadi seringkali ia berpikir yang aneh-aneh. Jangan ibu guru memarahinya atau menjulukinya dengan nama-nama yang menyakitkan. Tolong berikan perlakuan yag sama pada anak kami maupun teman-temannya, bahwa kalu mereka semua murid-murid istimewa.
Jika ia punya kelemahan dan keterbatasan, tolong secara diam-diam, ibu catat dan ibu rekam. Kelak katakan padanya sembari membantunya mengatasi masalah itu. Katakan juga pada kami sehingga kami ikut membantu dan bisa melibatkannya untuk memecahkan keterbatasan itu. Mengajari anak yang kini sedang menemukan identitas dan meraba harga dirinyaa memang tidak mudah, tapi karena itulah, kita bisa bertukar pengalaman dan pengetahuan.
Latihlah dirinya untuk berorganisasi, karena disana dirinya akan menemukan mutiara perilaku agung, yakni solidaritas dan cinta pada sesama. Latihlah dirinya untuk memahami persoalan yang lebih luas dari kepentingannya sendiri. Saya ingin ibu mengajarinya untuk berkorban dan memahat sikap kepedulian. Anak saya datang kepada ibu dengan tekad untuk belajar. Mohon ibu guru jangan mengecewakannya.
Jadikan masa sekolah itu sebagai sesuatu yang mneyenangkan, menarik dan menggairahkan baginya. Ajaklah dia sesekali keluar untuk melihat kalu pendidikan itu, bukan hanya dari bangku ke bangku, tapi juga lewat kenyataan keseharian. Seya ingin ketika dia menninggalkan kelas ibu dirinya memliki keyakinan yang lebih atas kemampuannya sendiri. Kelak ketika ia meniggalkan kelas ibu, saya berharap dirinya akan memiliki kecintaan besar pada pengetahuan dan sesamanya. Sebagai pelajar dan sebagai pribadi, kami sangat berharap ibu bisa tekun membimbing dan mengarahkannya.
Pada akkhirnya, bantulah putera kami menemukan harapan diatas bongkahan kehidupan bangsa yang burang dan menyakitkan ini. Tahukah ibu, tahun ini ibu akan menjadi salah seorang yang paling penting dalam hidupya. Dia akan memutuskan, untuk menru atau menolak nilai-nilai yang ibuguru sampaikan. Dia mungkin akan menghormati dan mengingat ibu sepanjang hayatnya, atau sebaliknya, dia tidak lagi menginagat ibu dan merasa kecil hati atas tindak-tanduk ibu yang mungkin bertolak belakang dengan nilai yang ibu ajarkan.
Sejujurnya, saya sebagai orang tua, ingin ibu sebagai seseorang yang paling dikaguminya. Tapi untuk ini, ibulah yang bisa menentukan. Oh ya, pada saat tahun ajaran berakhir, mohon berikan ucapan terimakasih dan pelukan hangat padanya. Berterimakasihlah kepadanya karena telah menjadi bagian kehidupan ibu, sebagaimana saya sangat berterimaksih kepada ibu karena telah menjadi bagian kehidupan anak saya.
Kami tahu, diatas segala harapan kami ibu guru sendiri didera oleh banyak problem. Tuntutan akan kesejahteraan hingga status membuat kami semua juga ingin berbuat banak untuk anda. Jadikan putera kami menjadi seorang yang kelak akan memahami profesimu dan kelak akan bisa berbuat banyak untukmu. Jangan ragu untuk meminta bantuan solidritas maupun perjuangan dari kami. Karena kami tahu, tahun ini anda menjadi bagian dari kehidupan kami sekeluarga.
Dengan cinta dan penuh harapan, Ayah dari siswa anda.
Salam dari kami sekeluarga.
[]
Membaca kembali surat itu, menyadarkan saya bahwa orang tua mempunyai harapan yang begitu besar kepada putra putrinya, begitu pula anak-anak sendiri, mereka adalah pengisi masa depan kelak. Semoga kita (para guru) selalu bertekad untuk mengemban amanat itu dengan kesungguhan dan ketulusan. Untuk Indonesia dan kehidupan yang lebih baik.
Salam hormat untuk semua guru.
*Penulis adalah Guru Di SD Pembangunan Jaya 2 Gedangan Sidoarjo.
e-mail pakguruobi@gmail.com
2010/10/23
Sekolah Unggul
Sekolah unggul adalah sekolah efektif. Demikian dikemukakan oleh DR. Fasli Djalal, Ph.D dalam pemaparannya tentang sekolah unggul. Beliau menyampaikan bahwa terdapat 11 karakter sekolah yang efektif. Diantaranya adalah, kepemimpinan yang profesional; visi dan tujuan bersama; lingkunngan belajar; konsentrasi pada belajar mengajar; harapan yang tiggi; penguatan, pengayaan, pemantapan yang positif; pemantauan kemajuan; hak dan tanggungjawab peserta didik; pengajaran yang penuh makna; organisasi pembelajar; kemitraan keluarga dengan sekolah. Apa yang disampaikan oleh dr. Fasli Djalal, Ph.D ini telah ditulis oleh Harris and Bennet dalam bukunya “Schooll Effetiveness Research: Meta Analisis”Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional mengamanatkan pengelolaan pendidikan dilaksanakan secara terdesentralisasi. Globalisasi menuntut penyelengaraan pendidikan yang demokratis dan akuntabel untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional sehingga dapat bersaing dengan pendidikan Negara-negara maju. Salah satu peran aktif dari lembaga pendidikan non formal sangat diperlukan dalam mewujudkan peningkatkan kualitas pendidikan.
Upaya peningkatan kualitas pendidikan dan membentuk sekolah unggul tidak terlepas dari peran berbagai pihak sebagai stakeholder dunia pendidikan. Pemerintah, tenaga pendidik dan kependidikan serta masyarakat harus mampu secara bersama-sama merumuskan strategi untuk kemajuan dunia pendidikan. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan dituntut untuk mampu merumuskan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kemajuan kualitas pendidikan yang pada gilirannya akan mampu diterjemahkan dengan baik oleh para pendidik dan tenaga pendidikan dengan penuh komitmen dan profesionalitas. Demikian pula dengan masyarakat. Kelompok eksternal dalam struktur pendidikan ini harus mampu memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap pelaksanaan pendidikan. Tidak hanya itu, masyarakat juga dituntut untuk bisa menjadi mitra yang baik bagi dunia pendidikan. Jika semua itu bisa dilakukan, maka pendidikan yang berkualitas pun tidak lagi hanya mimpi belaka. Secepatnya, kita akan benar-benar merasakan kualitas pendidikan yang semakin baik.
Ingin lihat bagaimana paparan DR. Fasli Djalal, Ph.D tentang sekolah unggul? silahkan download paparannya di link yang sudah disediakan di samping.
Upaya peningkatan kualitas pendidikan dan membentuk sekolah unggul tidak terlepas dari peran berbagai pihak sebagai stakeholder dunia pendidikan. Pemerintah, tenaga pendidik dan kependidikan serta masyarakat harus mampu secara bersama-sama merumuskan strategi untuk kemajuan dunia pendidikan. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan dituntut untuk mampu merumuskan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kemajuan kualitas pendidikan yang pada gilirannya akan mampu diterjemahkan dengan baik oleh para pendidik dan tenaga pendidikan dengan penuh komitmen dan profesionalitas. Demikian pula dengan masyarakat. Kelompok eksternal dalam struktur pendidikan ini harus mampu memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap pelaksanaan pendidikan. Tidak hanya itu, masyarakat juga dituntut untuk bisa menjadi mitra yang baik bagi dunia pendidikan. Jika semua itu bisa dilakukan, maka pendidikan yang berkualitas pun tidak lagi hanya mimpi belaka. Secepatnya, kita akan benar-benar merasakan kualitas pendidikan yang semakin baik.
Ingin lihat bagaimana paparan DR. Fasli Djalal, Ph.D tentang sekolah unggul? silahkan download paparannya di link yang sudah disediakan di samping.
2010/08/14
Kondisi Pendidikan di Indonesia
oleh: Prof. Budi Darma (Guru Besar Unesa)
pokok-pokok pikiran dalam Seminar Dari Guru Untuk Guru, diselenggarakan oleh Dwijakarya dan Surabaya Post, di Ruang Lebah Biru PT. Telkom Divre V, Minggu, 7 Juni 2009
Mutu
Pada hari Minggu, 24 Mei 2009, bertempat di Gedung Kesenian Jakarta, Bale Sastra Kecapi bekerjasama dengan Federasi Teater Indonesia menyelenggarakan sebuah panel antara budayawan dan para pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Panel diselenggarakan antara lain untuk mengetahui kebijakan para calon itu dalam masalah kebudayaan seandainya mereka terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 8 Juli 2009. Berbagai masalah kebudayaan dibicarakan dalam panel tersebut, baik yang bersifat makro maupun yang bersifat mikro.
Karena pendidikan pada hakikatnya berada di bawah payung kebudayaan, maka berbagai masalah pendidikan pun muncul. Salah satu masalah pendidikan yang dipertanyakan adalah kebijakan mengenai Ujian Nasional. Oleh salah satu pasangan calon dijelaskan, bahwa pendidikan harus mempunyai standard, dan acuan standard adalah mutu. Jangan sampai, katanya, belajar dan tidak belajar sama saja, yaitu sama-sama lulusnya. Karena waktu amat terbatas, permasalahan Ujian Nasional ini, dalam panel itu, tidak mungkin digali lebih jauh.
Pendidikan, memang, mau tidak mau pasti berkaitan dengan mutu, apalagi, ketika kita sudah terikat pada kesepakatan-kesepakatan internasional. Salah satu butir kesepakan itu adalah, dalam pengelolaan pendidikan, individu-individu dan lembaga-lembaga asing diperbolehkan masuk ke Indonesia. Akibat-akibat kesepakatan-kesepakatan ini jelas, yaitu, dunia makin terbuka terhadap persaingan dalam masalah apa pun, termasuk masalah pendidikan. Persaingan dengan kekuatan-kekuatan asing bukan hanya terjadi di luar Indonesia, tapi juga di Indonesia sendiri. Maka, hukum “survival of the fittest”pun, mau tidak mau pasti berlaku.
Jalan pintas
Pada waktu masih berkuasa, Bung Karno mempunyai cita-cita luhur untuk menjadikan bangsa Indonesia bukan sekedar “bangsa tempe,” tapi bangsa yang bermartabat. Untuk menuju ke taraf bangsa yang bermartabat, Bung Karno menempuh berbagai cara, antara lain melalui pendidikan tinggi. Dalam sebuah instruksi melalui Kementerian PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan), Bung Karno menyatakan bahwa dalam jangka waktu lima tahun (sejak tahun awal tahun 1960-an), Indonesia harus memiliki mahasiswa paling sedikit satu persen dari jumlah penduduk. Pada waktu itu, jumlah universitas masih sangat terbatas, yaitu UI, UGM, ITB, IPB, dan Unair. Karena itu, di setiap ibu kota propinsi harus ada universitas negerinya. Maksud luhur ini tidak lepas dari efek samping, yaitu orientasi kualitas dikalahkan oleh orientasi kuantitas.
Dengan alasan berbeda, pada waktu Presiden Soeharto berkuasa, jumlah mahasiswa juga digelembungkan. Menurut pengakuan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, Prof. Soekaji Ranoewihardjo, beberapa kali Presiden Soeharto memberi instruksi lesan, agar jumlah mahasiswa ditambah. Alasannya sederhana: jumlah lulusan Sekolah Menengah Atas sangat banyak, dan karena itu tidak mungkin terserap oleh pasaran kerja. Orientasi kualitas, sekali lagi, dikalahkan oleh orientasi kuantitas. Pengangguran, dengan demikian, untuk sementara ditunda.
Karena program Keluarga Berencana baru dilaksanakan dengan efektif pada tahun 1970-an, sampai dengan awal tahun 1990-an jumlah siswa dan mahasiswa kurang bisa dikendalikan. Semua klas harus diisi dengan jumlah siswa yang melebihi kapasitas klas, dan karena itu tidak mungkin untuk tidak menaikkan siswa ke klas yang lebih tinggi, dan tidak mungkin untuk tidak meluluskan siswa ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Meskipun resminya ada ujian kenaikan klas dan ujian untuk kelulusan, kenyataannya semua siswa naik klas dan semua siswa lulus.
Jalan pintas untuk mengatasi masalah kompleks ini diperparah lagi oleh sebuah paradigma yang tercipta pada waktu Daoed Joesoef menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut paradigma ini, pada hakikatnya tidak ada siswa bodoh, dan tidak ada pula mahasiswa bodoh. Mahasiswa pasti tidak bodoh, karena apa pun yang terjadi, mahasiswa sudah lulus Sekolah Menengah Atas. Siswa Sekolah Menengah Atas pun tidak mungkin bodoh, karena siswa ini sudah lulus Sekolah Menengah Pertama, dan demikianlah seterusnya. Anak Sekolah Dasar pun tidak mungkin bodoh, karena kalau bodoh, tidak mungkin dia diterima di Sekolah Dasar.
Kalau ada siswa tidak naik klas atau tidak lulus untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, maka, menurut paradigma ini, biang keladinya tidak lain adalah kebodohan gurunya. Lalu, kalau sampai ada mahasiswa tidak lulus, maka, menurut paradigma ini pula, dosennya pasti bodoh. Paradigma ini, dengan sendirinya, memicu apatisme: untuk apa belajar tokh saya mesti naik klas, apa gunanya saya belajar, sebab tanpa belajar pun aku pasti lulus. Pola pikir guru dan dosen pun, dengan sendirinya, ikut terkondisikan oleh paradigma ini: untuk apa saya bekerja keras, tokh tugas saya hanya menaikkan siswa ke klas yang lebih tinggi dan meluluskan siswa untuk bisa ditampng di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Jumlah siswa dan mahasiswa baru dapat agak terkendali pada awal tahun 1990-an, ketika hasil program Keluarga Berencana sudah mulai tampak. Meskipun demikian, pada hakikatnya pendidikan masih bersifat massal: ratio guru-siswa kurang seimbang, demikian pula ratio dosen-mahasiswa. Desakan untuk menaikkan dan meluluskan siswa dan mahasiswa “secepat-cepatnya” dan “sebanyak-banyaknya” masih sangat terasa.
Untuk membaca lebih lengkap materi ini, silahkan download pada link download di samping
pokok-pokok pikiran dalam Seminar Dari Guru Untuk Guru, diselenggarakan oleh Dwijakarya dan Surabaya Post, di Ruang Lebah Biru PT. Telkom Divre V, Minggu, 7 Juni 2009
Mutu
Pada hari Minggu, 24 Mei 2009, bertempat di Gedung Kesenian Jakarta, Bale Sastra Kecapi bekerjasama dengan Federasi Teater Indonesia menyelenggarakan sebuah panel antara budayawan dan para pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Panel diselenggarakan antara lain untuk mengetahui kebijakan para calon itu dalam masalah kebudayaan seandainya mereka terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 8 Juli 2009. Berbagai masalah kebudayaan dibicarakan dalam panel tersebut, baik yang bersifat makro maupun yang bersifat mikro.
Karena pendidikan pada hakikatnya berada di bawah payung kebudayaan, maka berbagai masalah pendidikan pun muncul. Salah satu masalah pendidikan yang dipertanyakan adalah kebijakan mengenai Ujian Nasional. Oleh salah satu pasangan calon dijelaskan, bahwa pendidikan harus mempunyai standard, dan acuan standard adalah mutu. Jangan sampai, katanya, belajar dan tidak belajar sama saja, yaitu sama-sama lulusnya. Karena waktu amat terbatas, permasalahan Ujian Nasional ini, dalam panel itu, tidak mungkin digali lebih jauh.
Pendidikan, memang, mau tidak mau pasti berkaitan dengan mutu, apalagi, ketika kita sudah terikat pada kesepakatan-kesepakatan internasional. Salah satu butir kesepakan itu adalah, dalam pengelolaan pendidikan, individu-individu dan lembaga-lembaga asing diperbolehkan masuk ke Indonesia. Akibat-akibat kesepakatan-kesepakatan ini jelas, yaitu, dunia makin terbuka terhadap persaingan dalam masalah apa pun, termasuk masalah pendidikan. Persaingan dengan kekuatan-kekuatan asing bukan hanya terjadi di luar Indonesia, tapi juga di Indonesia sendiri. Maka, hukum “survival of the fittest”pun, mau tidak mau pasti berlaku.
Jalan pintas
Pada waktu masih berkuasa, Bung Karno mempunyai cita-cita luhur untuk menjadikan bangsa Indonesia bukan sekedar “bangsa tempe,” tapi bangsa yang bermartabat. Untuk menuju ke taraf bangsa yang bermartabat, Bung Karno menempuh berbagai cara, antara lain melalui pendidikan tinggi. Dalam sebuah instruksi melalui Kementerian PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan), Bung Karno menyatakan bahwa dalam jangka waktu lima tahun (sejak tahun awal tahun 1960-an), Indonesia harus memiliki mahasiswa paling sedikit satu persen dari jumlah penduduk. Pada waktu itu, jumlah universitas masih sangat terbatas, yaitu UI, UGM, ITB, IPB, dan Unair. Karena itu, di setiap ibu kota propinsi harus ada universitas negerinya. Maksud luhur ini tidak lepas dari efek samping, yaitu orientasi kualitas dikalahkan oleh orientasi kuantitas.
Dengan alasan berbeda, pada waktu Presiden Soeharto berkuasa, jumlah mahasiswa juga digelembungkan. Menurut pengakuan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, Prof. Soekaji Ranoewihardjo, beberapa kali Presiden Soeharto memberi instruksi lesan, agar jumlah mahasiswa ditambah. Alasannya sederhana: jumlah lulusan Sekolah Menengah Atas sangat banyak, dan karena itu tidak mungkin terserap oleh pasaran kerja. Orientasi kualitas, sekali lagi, dikalahkan oleh orientasi kuantitas. Pengangguran, dengan demikian, untuk sementara ditunda.
Karena program Keluarga Berencana baru dilaksanakan dengan efektif pada tahun 1970-an, sampai dengan awal tahun 1990-an jumlah siswa dan mahasiswa kurang bisa dikendalikan. Semua klas harus diisi dengan jumlah siswa yang melebihi kapasitas klas, dan karena itu tidak mungkin untuk tidak menaikkan siswa ke klas yang lebih tinggi, dan tidak mungkin untuk tidak meluluskan siswa ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Meskipun resminya ada ujian kenaikan klas dan ujian untuk kelulusan, kenyataannya semua siswa naik klas dan semua siswa lulus.
Jalan pintas untuk mengatasi masalah kompleks ini diperparah lagi oleh sebuah paradigma yang tercipta pada waktu Daoed Joesoef menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut paradigma ini, pada hakikatnya tidak ada siswa bodoh, dan tidak ada pula mahasiswa bodoh. Mahasiswa pasti tidak bodoh, karena apa pun yang terjadi, mahasiswa sudah lulus Sekolah Menengah Atas. Siswa Sekolah Menengah Atas pun tidak mungkin bodoh, karena siswa ini sudah lulus Sekolah Menengah Pertama, dan demikianlah seterusnya. Anak Sekolah Dasar pun tidak mungkin bodoh, karena kalau bodoh, tidak mungkin dia diterima di Sekolah Dasar.
Kalau ada siswa tidak naik klas atau tidak lulus untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, maka, menurut paradigma ini, biang keladinya tidak lain adalah kebodohan gurunya. Lalu, kalau sampai ada mahasiswa tidak lulus, maka, menurut paradigma ini pula, dosennya pasti bodoh. Paradigma ini, dengan sendirinya, memicu apatisme: untuk apa belajar tokh saya mesti naik klas, apa gunanya saya belajar, sebab tanpa belajar pun aku pasti lulus. Pola pikir guru dan dosen pun, dengan sendirinya, ikut terkondisikan oleh paradigma ini: untuk apa saya bekerja keras, tokh tugas saya hanya menaikkan siswa ke klas yang lebih tinggi dan meluluskan siswa untuk bisa ditampng di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Jumlah siswa dan mahasiswa baru dapat agak terkendali pada awal tahun 1990-an, ketika hasil program Keluarga Berencana sudah mulai tampak. Meskipun demikian, pada hakikatnya pendidikan masih bersifat massal: ratio guru-siswa kurang seimbang, demikian pula ratio dosen-mahasiswa. Desakan untuk menaikkan dan meluluskan siswa dan mahasiswa “secepat-cepatnya” dan “sebanyak-banyaknya” masih sangat terasa.
Untuk membaca lebih lengkap materi ini, silahkan download pada link download di samping
2010/08/12
Menulis PTK
Lahirnya Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, yang berlaku sejak 10 November 2009 membuat kewajiban menulis karya ilmiah bagi para guru menjadi berubah. Semula, guru wajib menulis karya ilmiah untuk kenaikan pangkat dari Golongan IV/a ke IV/b, dari IV/b ke IV/c, dan seterusnya. Namun sekarang kewajiban menulis karya ilmiah sudah dimulai sejak guru akan mengusulkan pangkat dari Golongan III/b ke III/c. Bagi sebagian guru kebijakan tersebut tidaklah mudah untuk dilaksanakan, mengingat beban tugas para guru sebagai pengajar menyita cukup banyak waktu, sehingga kesempatan untuk menulis pun hampir tidak ada. Pernyataan tersebut sebagaimana yang terungkap dalam sebuah acara konferensi guru Internasional di Jakarta Minggu (4/3).Menanggapi hal di atas, maka majalah ilmiah guru DWIJAKARYA PPLP PGRI JATIM berinisiatif untuk membantu para guru dalam membekali diri dengan kamampuan menulis karya ilmiah khususnya Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Para guru akan didampingi dalam pembuatan PTK sampai benar-benar menjadi sebuah karya ilmiah.
Itulah salah satu peran yang dilakukan oleh lembaga penerbit majalah untuk para guru. Dalam kesempatan ini, saya akan memberikan file materi dari salah satu narasumber yang bisa rekan-rekan pergunakan untuk belajar membuat PTK. Khususnya bagi rekan-rekan yang belum berkesempatan untuk mengikuti Diklat yang telah diadakan pada tanggal 6 Juni 2010 di BLPT Jawa Timur. Untuk download file nya silahkan klik http://www.ziddu.com/download/11175336/MENULISPTK-BARU.doc.html
Semoga apa yang telah kami berikan ini bermanfaat. Selamat belajar dan mencoba membuat PTK.
Itulah salah satu peran yang dilakukan oleh lembaga penerbit majalah untuk para guru. Dalam kesempatan ini, saya akan memberikan file materi dari salah satu narasumber yang bisa rekan-rekan pergunakan untuk belajar membuat PTK. Khususnya bagi rekan-rekan yang belum berkesempatan untuk mengikuti Diklat yang telah diadakan pada tanggal 6 Juni 2010 di BLPT Jawa Timur. Untuk download file nya silahkan klik http://www.ziddu.com/download/11175336/MENULISPTK-BARU.doc.html
Semoga apa yang telah kami berikan ini bermanfaat. Selamat belajar dan mencoba membuat PTK.
Langganan:
Postingan (Atom)