Jadilah Orang Hidup Yang Hidup Bukan Orang Hidup Yang Mati. Jadilah Pula Orang Mati Yang Hidup Bukan Orang Mati Yang Mati.

edukonten. Diberdayakan oleh Blogger.

2010/12/29

Evaluasi Berkala Sebagai Pengganti UAN

Tujuan Pendidikan Nasional Semakin Tidak Jelas
Sebagaimana tertuang dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk membentuk generasi yang berkualitas dan berakhlak serta bertanggungjawab. Pendidikan nasional harus pula sejalan dengan cita-cita proklamasi 1945 yaitu ingin mewujudkan suatu bagsa indonesia yang besar yang mendiami Nusantara yang terdiri dari berbagai suku bangsa tetapi memiliki tekad bersatu, hidup bersama di dalam masyarakat Indonesia. Namun, dewasa ini yang tampak adalah sebaliknya, pendidikan nasional bukan lagi pemersatu bangsa tetapi telah menjadi ajang persemaian manusia-manusia egois dan individualis, mementingkan diri dan kelompoknya sendiri dan masing-masing ingin mewujudkan kepentingan kelompoknya sendiri. Tawuran pelajar adalah salah satu bukti kongkrit bahwa pendidikan nasional telah mencetak generasi-generasi yang siap menghancurkan bangsa ini kapan saja.
Apa sebenarnya yang membuat pendidikan nasional seakan kehilangan ruhnya? Pertanyaan ini seringkali mencul dalam berbagai perbincangan tentang pendidikan. Namun, sepanjang persoalan ini terus diperbincangkan, sepanjang itu pula pendidikan nasional semakin tak berbentuk dan cita-cita mulianya akhirnya hanya menjadi isapan jempol belaka.
Menurut Prof. H.A.R. Tilaar terdapat dua kekuatan besar yang mempengaruhi jalannya pendidikan nasional dewasa ini. Kekuatan tersebut adalah: 1) Kekuatan Politik ; 2) Kekuatan Ekonomi.
Kekuatan Politik
Semakin terlihat jelas bahwa saat ini pendidikan nasional telah terlibat terlalu jauh pada praktik-praktik politik praktis. Pendidikan nasional telah menjadi bagian dari kekuatan-kekuatan politik praktis. Pendidikan nasional telah pula dimasukkan dalam kancah perebutan kekuasaan oleh partai-partai politik. Dengan demikian pendidikan tidak lagi berpihak pada pembangunan manusia indonesia seutuhnya sebagaimana yang tersirat dalam cita-cita proklamasi 1945, tetapi pendidikan nasional lebih berpihak pada pembangunan kekuatan politik praktis untuk kepentingan golongan tertentu.
Pemerintah sebagai pemangku pelaksana pendidikan nasional pun sepertinya sudah memiliki komitmen dan tekad yang bulat untuk tidak melaksankan pendidikan nasional sebagai sarana untuk membangun Indonesia yang dicita-citakan. Hal itu terbukti pada penolakan pemerintah terhadap alokasi dana untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD. Bagaimana mungkin bangsa ini bisa berjalan sesuai jalurnya lebih-lebih menggapai cita-cita bila UUD sebagai konstitusi tertinggi dari sebuah Negara telah dilanggar oleh pemerintah yang notabene adalah penyelenggara Negara? Namun kini, atas perjuangan dan penekanan yang tak henti-hentinya oleh berbagai kelompok yang peduli terhadap pendidikan nasional, akhirnya polemik yang telah lama berkepanjangan itu telah menunjukkan titik terangnya dengan tunduk dan patuhnya pemerintah atas perintah UUD untuk mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20% dari APBN.
Kekuatan Ekonomi
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai simbol kekuatan ekonomi telah mendorong gelombang modernisasi semakin kuat dan melanda seluruh dunia. Tidak ada satu bangsa pun yang mampu menghadang laju gelombang modernisasi ini. Demikian pula dengan manusia dan masyarakat Indonesia.
Disadari atau tidak kuatnya gelombang modernisasi ini telah meluluh lantakkan tatanan pendidikan nasional. Kekuatan ekonomi dengan orientasi liberalisme atau lebih tepatnya lagi neoliberalisme telah memasuki sendi-sendi kehidupan pendidikan nasional. Meskipun orientasi neoliberalisme dalam pendidikan mempunyai nilai positif yaitu memberikan orientasi praktis terhadap pendidikan nasional agar supaya pendidikan menunjang perbaikan hidup dan peningkatan taraf hidup rakyat Indonesia, namun nilai negatifnya justru malah semakin berbahaya bagi kesatuan bangsa. Kekuatan ekonomi modern dalam proses pendidikan telah mempersempit tujuan pendidikan sebagai upaya untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dalam arti yang bermanfaat bagi kehidupan. Berdasarkan paradigma ekonomi modern, akhirnya sistem pendidikan nasional disusun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan efisiensi, produktif, dan menghasilkan manusia-manusia yang dapat bersaing. Prinsip-prinsip tersebut dapat membawa pendidikan nasional kepada pertimbangan semata-mata untuk mencari profit, artinya yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya terhadap investasi yang telah dilaksanakan dalam bidang pendidikan. Sebagai upaya untuk mencapai efisiensi dan kualitas pendidikan, maka disusunlah berbagai upaya standarisasi. Akhirnya, muncullah konsep standarisasi berupa Ujian Nasional yang pada gilirannya bukan lagi merupakan suatu upaya untuk memetakan masalah-masalah pendidikan, tetapi dijadikan tolok ukur untuk menentukan nasib anak. Bahan-bahan dalam ujian nasional pun tidak mencerminkan penguasaan anak terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
Polemik UAN
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 yang oleh pemerintah dianggap sebagai penjabaran dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan delapan Standar Pendidikan Nasional sebagai bidang garap dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), diantaranya:
1) Standar isi
Standar isi merupakan materi dari tingkat kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap peserta didik di dalam berjenis tingkat dan jenis pendidikan. Di dalam standar isi termasuk kompetensi para tamatan, kompetensi mata pelajaran, kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan/akademik dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
2) Standar proses
Standar proses meliputi pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
3) Standar kompetensi lulusan
Standar ini merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
4) Standar pendidik dan tenaga kependidikan
Standar ini merupakan standar nasional tentang kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupuin mental serta pendidikan dalam jabatan dari tenaga guru serta tenaga kependidikan lainnya.
5) Standar sarana dan prasarana
Standar ini mengenai kriteria minimal tenatang ruang belajar, perpustakaan, tempat oleh raga, tempat ibadah, tempat bermain dan rekreasi, laboratorium, bengkel kerja, sumber belajar lainnya yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran. Dalam standar ini termasuk pula penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
6) Standar pengelolaan
Standar ini meliputi perencanaan pendidikan, pelaksanaan dan pegawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, pengelolaan pendidikan di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pada tingkat nasional. Tujuan dari standar ini ialah meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
7) Standar pembiayaan
Standar ini merupakan standar nasional yang berkaitan dengan komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan selama satu tahun.
8) Standar penilaian pendidikan
Standar ini merupakan standar nasional penilaian pendidikan tentang mekanisme, prosedur, instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
Selain delapan standar di atas, BSNP juga mempunyai tugas yang tidak kalah pentingnya, yaitu 1) Menyelenggarakan Ujian Nasional. 2) Memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan. 3) merumuskan kriteria kelulusan pada satuan pendidikan, dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. 4) Menilai kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikan buku teks pelajaran. Delapan standar di atas serta tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh BSNP merupakan upaya pemerintah dalam rangka mencapai pendidikan yang bermutu.
Mengenai hak dan tanggungjawab untuk mengadakan penilaian keberhasilan proses pendidikan, rasanya terdapat tumpang tindih antara UU No. 20 Tahun 2003 dengan PP No. 19 Tahun 2005. Di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa yang berhak dan bertanggungjawab untuk mengadakan penilaian keberhasilan proses pendidikan adalah Guru yang sehari-hari bertugas mendampingi peserta didik di dalam kelas. Sementara itu lahirnya PP No. 19 Tahun 2005 telah mengalihkan tugas mulia tersebut kepada sebuah lembaga yang diberi nama BSNP. Salah satunya adalah dengan menentukan tingkat kelulusan peserta didik.
Munculnya tumpang tindih aturan tersebut telah menyebabkan polemik UAN yang berkepanjangan. Kasus pada tahun 2006 menunjukkan bahwa penyelenggaraan ujian nasional terkesan sangatlah dipaksanakan oleh pemerintah. Seminggu sebelum pelaksanaan UAN dalam bulan Mei 2006, pemerintah harus mengadakan kompromi dengan Komisi X DPR. Seblumnya, DPR mengatakan bahwa tidak tersedia dana untuk pelaksanaan Ujian Nasional. Namun, akibat berjalannya kompromi tersebut akhirnya UAN dapat dilaksanakan dengan mangambil dana dari pos-pos lain sebesar Rp 260 miliar. “Dagelan” yang terjadi antara Pemerintah dengan DPR menunujukkan betapa telah terjadi pembohongan publik karena kolaborasi yang tidak etis antara DPR dengan pemerintah.
Berikutnya, dalam berbagai forum persidangan di pengadilan telah di putuskan bahwa UAN adalah produk yang menyalahi UU atau inkonstitusional. Seperti diketahui, permulaan munculnya kasus UAN di pengadilan adalah ketika 58 guru dan masyarakat mengajukan gugatan citizen lawsuit ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat tentang pelaksaanaan UN yang merugikan masyarakat. Sidang putusan pada 21 Mei 2007, memutuskan bahwa pemerintah dianggap telah lalai dalam pemenuhan dan perlindungan terhadap HAM warga negara korban UN. Selanjutnya pemerintah banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta Pusat, tetapi pada 6 Desember 2007 PT memutuskan memperkuat hasil keputusan PN Jakarta Pusat. Akhirnya pemerintah mengajukan kasasi ke MA. Kasasi tersebut pun telah ditolak oleh MA. Sampai pada akhirnya keluar keputusan dari Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa UAN adalah inkonstitusional.
Berbagai forum persidangan tersebut seharusnya memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada pemrintah, bahwa penilaian standarisasi pendidikan dengan titik tekan pada kemampuan para peserta didik seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada Guru. Hal itu pun telah sesuai dengan konsep kurukulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Dalam KTSP dituangkan bahwa evaluasi hasil belajar siswa diserahkan sepenuhnya kepada Guru yang mendampingi para peserta didik dalam proses pembelajaran sehari-hari. Bila alasan pemerintah dengan tetap melaksanakan UAN adalah agar ada standar nasional yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk pengambilan kebijakan secara nasional, maka seharusnya pemerintah segera menyusun grand design pengganti UAN sebagai solusi bagi dasar pengambilan kebijakan pendidikan secara nasional setelah dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2003. Karena didalam UU No. 20 Tahun 2003 tersirat bahwa UAN tidak boleh lagi dilaksanakan.
Evaluasi Berkala Sebagai Solusi
Standar pendidikan nasional memang tetap diperlukan. Hal itu sebagai acuan dalam menentukan kebijakan pendidikan secara nasional demi kemajuan mutu dunia pendidikan. Namun, penentuan standar nasional pendidikan tidak seharusnya merugikan para peserta didik sebagaimana dalam kasus UAN. Alih-alih ingin meningkatkan kualitas pendidikan, pelaksanaan UAN malah menimbulkan banyak persoalan yang muaranya adalah kerugian pada para peserta didik yang seharusnya menjadi subyek yang menikmati majunya kualitas pendidikan nasional. UAN telah mengesampingkan kekayaan individu dan menjadikan tiap-tiap individu hanya sebagai barang produksi yang bisa distandarisasi. Akibatnya, individu kehilangan eksistensinya sebagai makhluk yang unik. Hasil akhir yang lebih diutamakan, bukan proses. Penekanan terhadap hasil akhir itu akhirnya menyebabkan hilangnya nilai-nilai individu, seperti ketulusan dan kejujuran, rasa hormat, persahabatan, penghargaan atas perbedaan, jerih payah, kerja keras, ketekunan, dan lain-lain.
Pada akhirnya, evaluasi akhir tetap harus dilakukan oleh guru yang mendidik dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari berbagai pihak yang terkait dengan peserta didik. Guru harus memiliki formulasi khusus untuk menilai dan mengevaluasi para peserta didik dalam kerangka obyektifitas dan meminimalisir atau bahkan meredusir sepenuhnya subyektifitas yang dapat menyesatkan. Formulasi ini tentunya adalah hasil perenungan dan pengkajian yang panjang yang tidak diragukan lagi kevalidan dan keabsahannya. Selain itu yang terpenting adalah formulasi ini tidak boleh sama sekali berpotensi merugikan para peserta didik.
Berangkat dari keprihatinan atas pelaksanaan UAN dan idealisme terhadap pendidikan, maka muncullah formulasi yang dinamakan evaluasi berkala. Evaluasi berkala ini artinya adalah pelaksanaan evaluasi yang dilakukan tahap demi tahap sehingga memunculkan hasil akhir yang berupa rata-rata dari akumulasi tahapan tersebut. Hasil akhir yang berupa rata-rata inilah yang kemudian dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan berhasil tidaknya seorang peserta didik dalam menempuh pendidikan.
Dalam hal ini seorang guru dituntut harus benar-benar profesional sebagai seorang pendidik. Salah satu bentuknya adalah guru harus benar-benar memberikan tes/ujian/ulangan secara objektif. Soal-soal yang dibuat harus melalui proses validasi dan dinyatakan valid. Serta yang sangat penting adalah hasil tes/ujian/ulangan tersebut harus benar-benar didokumentasikan oleh guru. Karena tiap-tiap hasil tes itulah yang digunakan untuk penentuan kelulusan.
Melalui pelaksanaan evaluasi berkala ini dapat dilihat pula tingkat kesungguhan peserta didik dalam belajar di sekolah serta tingkat konsistensi peserta didik dalam mempertahankan prestasinya. Peserta didik memiliki kesempatan yang luas untuk mengembangkan kemampuannya karena kelulusan mereka tidak ditentukan dalam satu kali tes melainkan beberapa kali tes. Bila pada tes yang pertama peserta didik mengalami kegagalan maka ia dapat memperbaiki pada tes berikutnya. Tentunya bukan hanya berdasarkan rata-rata dari akumulasi hasil tes itu saja seorang siswa dinyatakan lulus dari satuan pendidikan. Melainkan cara itu hanya sebagai salah satu unsur yang mungkin bisa digunakan sebagai unsur yang lebih dominan. Unsur berikutnya bisa didapat dari perilaku dan sikap keseharian peserta didik serta masukan-masukan dari berbagai pihak yang terkait dengan peserta didik.
Evaluasi berkala ini hanya sebagai cara untuk mengevaluasi individu peserta didik dan bukan untuk memperoleh standar pendidikan secara nasional. Bila memang pemerintah menginginkan adanya evaluasi secara nasional sebagai pemenuhan atas standarisasi pendidikan nasional sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan. Maka proses tes/ujian/ulangan secara nasional sepertinya masih tetap harus dilakukan. Namun sekali lagi, tes tersebut tidak boleh dan benar-benar tidak boleh digunakan sebagai dasar penentuan kelulusan seorang peserta didik dari sebuah satuan pendidikan.

2010/12/17

Anggaran Pendidikan Masih Jadi Persoalan

Anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN yang sesungguhnya telah diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 31 (4), namun baru bisa direalisasikan oleh pemerintah pada tahun anggaran 2009 sebagaimana dituangkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 (1).
Persoalan anggaran ini sesungguhnya amat penting karena secara langsung akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Minimnya anggaran pendidikan yang selama ini diberikan (sebelum dianggarkan sebesar 20% dari APBN), menyebabkan banyak kebutuhan untuk proses pendidikan khususnya kebutuhan untuk proses pembelajaran tidak terpenuhi. Laboratorium yang memadahi, perpustakaan, ruang-ruang belajar (kelas), perangkat/media pembelajaran, serta sarana lain yang sangat menunjang proses pembelajaran tidak dapat terpenuhi akibat minimnya anggaran pendidikan dari pemerintah. Hal ini pada akhirnya membuat kualitas pembelajaran menjadi tidak baik yang pada gilirannya membuat tidak baik pula mutu pendidikan di indonesia.
Setelah dialokasikannya anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN sebagaimana dituangkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 (1), diharapkan agar kualitas pendidikan akan semakin maju. Namun, yang terjadi saat ini adalah diluar harapan. Banyak sekolah yang ternyata malah menyelewengakan bantuan pemerintah (BOS, BOP, dll). Penyelewengan dana bantuan pemerintah oleh pihak sekolah itu menambah daftar panjang bobroknya kualitas pendidikan Indonesia. pada 2007 saja BPK RI telah menemukan adanya penyelewengan dana BOS sebanyak 2.054 sekolah dari 3.237 sampel sekolah yang diperiksa dengan nilai penyimpangan kurang lebih Rp 28,1 miliar. Artinya, terdapat enam dari sepuluh sekolah melakukan penyimpangan pengelolaan dana BOS pada tahun 2007 dengan rata-rata penyimpangan sebesar Rp 13,6 juta (Kompas, 6/12/10). Salah satu faktor penyebab terjadinya penyelewengan itu adalah rendahnya transparansi, akuntabilitas dan partisipasi warga atas pengelolaan bantuan.
Setelah sekolah dituntut untuk menyusun dan menggunakan bantuan secara transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi warga, permasalahan lain masih saja terjadi. Kali ini sekolah-sekolah merasa dipusingkan dengan sistem laporan bantuan anggaran pendidikan dari pemerintah tersebut. Bukannya berkonsentrasi terhadap kemajuan kualitas pendidikan, para guru khususnya kepala sekolah sebagai pengendali perbaikan mutu sekolah malah disibukkan dan dipusingkan dengan sistem laporan bantuan yang bisa mengancam keselamatan dirinya. Betapa tidak, kesalahan dalam menyusun atau membuat laporan itu ancamannya adalah masuk penjara. Dengan demikian, alih-alih para kepala sekolah ingin memajukan kualitas sekolahnya, mereka malah kebingungan menyelamatkan diri dari ancaman penjara.

2010/11/30

Ciri-ciri Berfikir Filsafat

Berfilsafat termasuk dalam berfikir namun berfilsafat tidak identik dengan berfikir. Sehingga, tidak semua orang yang berfikir itu mesti berfilsafat, dan bisa dipastikan bahwa semua orang yang berfilsafat itu pasti berfikir.
Seorang siswa yang berfikir bagaimana agar bisa lulus dalam Ujian Akhir Nasional, maka siswa ini tidaklah sedang berfilsafat atau berfikir secara kefilsafatan melainkan berfikir biasa yang jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang mendalam dan menyeluruh. Oleh karena itu ada beberapa ciri berfikir secara kefilsafatan.
1. Berfikir secara radikal. Artinya berfikir sampai ke akar-akarnya. Radikal berasal dari kata Yunani radix yang berarti akar. Maksud dari berfikir sampai ke akar-akarnya adalah berfikir sampai pada hakikat, esensi atau sampai pada substansi yang dipikirkan. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan indrawi.
2. Berfikir secara universal atau umum. Berfikir secara umum adalah berfikir tentang hal-hal serta suatu proses yang bersifat umum. Jalan yang dituju oleh seorang filsuf adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal yang bersifat khusus yang ada dalam kenyataan.
3. Berfikir secara konseptual. Yaitu mengenai hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses individual. Berfikir secara kefilsafatan tidak bersangkutan dengan pemikiran terhadap perbuatan-perbuatanbebas yang dilakukan oleh orang-orang tertentu sebagaimana yang biasa dipelajari oleh seorang psikolog, melainkan bersangkutan dengan pemikiran “apakah kebebasan itu”?
4. Berfikir secara koheren dan konsisten. Artinya, berfikir sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir dan tidak mengandung kontradiksi atau dapat pula diartikan dengan berfikir secara runtut.
5. Berfikir secara sistematik. Dalam mengemukakan jawaban terhadap suatu masalah, para filsuf memakai pendapat-pendapat sebagai wujud dari proses befilsafat. Pendapat-pendapat itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung maksud dan tujuan tertentu.
6. Berfikir secara komprehensif (menyeluruh). Berfikir secara filsafat berusaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
7. Berfikir secara bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural ataupun religius. Berfikir dengan bebas itu bukan berarti sembarangan, sesuka hati, atau anarkhi, sebaliknya bahwa berfikir bebas adalah berfikir secara terikat . akan tetapi ikatan itu berasal dari dalam, dari kaidah-kaidah, dari disiplin fikiran itu sendiri. Dengan demikian pikiran dari luar sangat bebas, namun dari dalam sangatlah terikat.
8. Berfikir atau pemikiran yang bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya sendiri. Seorang filsuf seolah-olah mendapat panggilan untuk membiarkan pikirannya menjelajahi kenyataan. Namun, fase berikutnya adalah bagaimana ia merumuskan pikiran-pikirannya itu agar dapat dikomunikasikan pada orang lain serta dipertanggungjawabkan.

2010/11/29

PTK SMK Mata Diklat KKPI

MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR KETRAMPILAN KOMPUTER DAN PENGOLAHAN INFORMASI MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL LEARNING TOGETHER PADA SISWA …TAHUN PELAJARAN…

BAB I
PENDAHULUAN

Pada abad 21 ini, kita perlu menelaah kembali praktik-praktik pembelajaran di sekolah-sekolah. Peranan yang harus dimainkan oleh dunia pendidikan dalam mempersiapkan akan didik untuk berpartisipasi secara utuh dalam kehidupan bermasyarakat di abad 21 akan sangat berbeda dengan peranan tradisional yang selama ini dipegang oleh sekolah-sekolah.

Ada persepsi umum yang sudah berakar dalam dunia pendidikan dan juga sudah menjadi harapan masyarakat. Persepsi umum ini menganggap bahwa sudah merupakan tugas guru untuk mengajar dan menyodori siswa dengan muatan-muatan informasi dan pengetahuan. Guru perlu bersikap atau setidaknya dipandang oleh siswa sebagai yang mahatahu dan sumber informasi. Lebih celaka lagi, siswa belajar dalam situasi yang membebani dan menakutkan karena dibayangi oleh tuntutan-tuntutan mengejar nilai-nilai tes dan ujian yang tinggi.

Tampaknya, perlu adanya perubahan paradigma dalam menelaah proses belajar siswa dan interaksi antara siswa dan guru. Sudah seyogyanyalah kegiatan belajar mengajar juga lebih mempertimbangkan siswa. Siswa bukanlah sebuah botol kosong yang bisa diisi dengan muatan-muatan informasi apa saja yang dianggap perlu oleh guru. Selain itu, alur proses belajar tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa bisa juga saling mengajar dengan sesama siswa yang lainnnya. Bahkan, banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru. Sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur disebut sebagai sistem “pembelajaran gotong royong” atau cooperative learning. Dalam sistem ini, guru bertindak sebagai fasilitator.
Ada beberapa alasan penting mengapa sistem pengajaran ini perlu dipakai lebih sering di sekolah-sekolah. Seiring dengan proses globalisasi, juga terjadi transformasi sosial, ekonomi, dan demografis yang mengharuskan sekolah untuk lebih menyiapkan anak didik dengan keterampilan-keterampilan baru untuk bisa ikut berpartisipasi dalam dunia yang berubah dan berkembang pesat.

Sesungguhnya, bagi guru-guru di negeri ini metode gotong royong tidak terlampau asing dan mereka telah sering menggunakannya dan mengenalnya sebagai metode kerja kelompok. Memang tidak bisa disangkal bahwa banyak guru telah sering menugaskan para siswa untuk bekerja dalam kelompok.

Sayangnya, metode kerja kelompok sering dianggap kurang efektif. Berbagai sikap dan kesan negative memang bermunculan dalam pelaksaan metode kerja kelompok. Jika kerja kelompok tidak berhasil, siswa cenderung saling menyalahkan. Sebaliknya jika berhasil, muncul perasaan tidak adil. Siswa yang pandai/rajin merasa rekannya yang kurang mampu telah membonceng pada hasil kerja mereka. Akibatnya, metode kerja kelompok yang seharusnya bertujuan mulia, yakni menanamkan rasa persaudaraan dan kemampuan bekerja sama, justru bisa berakhir dengan ketidakpuasaan dan kekecewaaan. Bukan hanya guru dan siswa yang merasa pesimis mengenai penggunaan metode kerja kelompok, bahkan kadang-kadang orang tua pun merasa was-was jika anak mereka dimasukkan dalam satu kelompok dengan siswa lain yang dianggap kurang seimbang.

Berbagai dampak negatif dalam menggunakan metode kerja kelmpok tersebut seharusnya bisa dihindari jika saja guru mau meluangkan lebih banyak waktu dan perhatian dalam mempersiapkan dan menyusun metode kerja kelompok. Yang diperkanalkan dalam metode pembelajaran cooperative learning bukan sekedar kerja kelompok, melainkan pada penstrukturannya. Jadi, sistem pengajaran cooperative learning bisa didefinisikan sebagai kerja/belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.

Kekawatiran bahwa semangat siswa dalam mengembangkan diri secara individual bisa terancam dalam penggunaan metode kerja kelompok bisa dimengerti karena dalam penugasan kelompok yang dilakukan secara sembarangan, siswa bukannya belajar secara maksimal, melainkan belajar mendominasi ataupun melempar tanggung jawab. Metode pembelajaran gotong royong distruktur sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota dalam satu kelompok melaksanakan taanggung jawab pribadinya karena ada sistem akuntabilitas individu. Siswa tidak bisa begitu saja membonceng jerih payah rekannya dan usaha setiap siswa akan dihargai sesuai dengan poin-poin perbaikannya.

Dari latar belakang masalah tersebut, maka peneliti merasa terdorong untuk melihat pengaruh pembelajaran terstruktur dan pemberian balikan terhadap prestasi belajar siswa dengan mengambil judul “Meningkatkan Prestasi Belajar Ketrampilan Komputer dan Pengolahan Informasi Melalui Pembelajaran Kooperatif Model Learning Together Pada Siswa ……Tahun Pelajaran ……”.

PTK Bahasa Indonesia SMA

PEMBELAJARAN APRESIASI PUISI DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA FILM SISWA KELAS X.1 SMA NEGERI .... TAHUN AJARAN....

BAB I
PENDAHULUAN

Proses pembelajaran bukan hanya sebagai sarana untuk memberikan pengetahuan dan membina keterampilan tetapi meliputi pengembangan pengetahuan dan keterampilan siswa yang menjadi subjek dalam pembelajaran. Dalam proses pembelajaran guru menjadi faktor penting dalam memberikan keberhasilan siswanya. Seorang guru harus mempunyai kemampuan untuk mengelola proses pembelajaran agar lebih menarik, menyenangkan, dan bermanfaat bagi siswanya. Agar proses pembelajaran dapat berhasil, seorang guru harus mampu menentukan metode, strategi, dan media yang tepat dan sesuai untuk mencapai hasil belajar mengajar yang maksimal. Hal itu merupakan bagian tugas keprofesionalan seorang guru dalam melaksanakan tugasnya.

Dalam Undang-Undang nomor 14 tahun 2005, bab I pasal 1 ayat 1, menyatakan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Melalui peningkatan keprofesionalan, maka seorang guru diharapkan mempunyai kualitas dalam melaksanakan tugasnya, sehingga mutu pendidikan nasional dapat meningkat. Undang-undang Republik Indonesia tentang Guru dan Dosen ditetapkan oleh pemerintah memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, memberikan perlindungan dan
kesejahteraan, mengangkat citra, martabat, dan status sosial guru dan dosen ditengah-tengah masyarakat di era global (Supratno, 2006:10).

Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 (Depdiknas, 2003:5) menyatakan bahwa kemampuan bersastra mempunyai fungsi utama yaitu untuk penghalus budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya dan penyalur gagasan, imajinasi dan ekspresi secara kreatif dan konstruktif, baik secara lisan maupun tertulis. Pembelajaran sastra terutama pada pembelajaran apresiasi puisi ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis puisi.
Tjahjono (2002:35) menyatakan bahwa menulis puisi merupakan kegiatan produksi dalam apresiasi puisi. Mengajarkan puisi, dijumpai hambatan yaitu adanya anggapan bahwa puisi sudah tidak ada gunanya lagi, dan adanya pandangan bahwa mempelajari puisi sering tersandung pada ‘pengalaman pahit’. Pandangan semacam ini yang menjadikan pembelajaran apresiasi puisi dianggap sebagai sesuatu yang sulit terutama dalam keterampilan menulis puisi. Hal yang utama seseorang dalam menulis puisi adalah menentukan tema kemudian mengembangkan dalam bentuk puisi dengan menggunakan diksi dan amanat dalam puisi tersebut. Penggunaan diksi yang ada dalam puisi merupakan salah satu bentuk ekspresi dari diri pengarang. Hernowo (2003:51) menyatakan menulis dapat kita lihat dalam puisi, bagaimana pengarang mengungkapkan perasaannya melalui kata-kata yang digunakan. Untuk itu, guru hendaknya memberikan variasi dalam menyampaikan pengajaran apresiasi puisi, sehingga siswa tidak jenuh dan selalu siap menanggapi berbagai rangsangan.

Proses belajar mengajar, khususnya keterampilan bersastra dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menyebutkan peranan media menjadi sangat penting untuk menumbuhkan semangat siswa menerima pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Guru harus memiliki tingkat penyesuaian yang cocok dengan siswanya, penyesuaian tersebut dirancang secara terpadu dengan tujuan utama adalah mempersiapkan siswa untuk melakukan interaksi yang bermakna dengan bahasa yang alamiah (Suyatno, 2004:10). Sebagai upaya meningkatkan apresiasi sastra terutama pada pembelajaran apresiasi puisi, pemanfaatan teknologi yang berupa media audio visual turut berperan dalam upaya meningkatkan keberhasilan siswa.

Sonneman (2002:109) menyatakan bahwa cara orang memproses dan menyimpan informasi sering merupakan campuran antara cara visual (penglihatan), auditori (pendengaran), dan kinestetik (gerakan). Melalui media audio visual yang berupa film diharapkan pembelajaran apresiasi puisi dapat memotivasi siswa dan menjadikan siswa mengenal puisi dengan mudah. Salah satu media audio visual yang digunakan dalam penelitian ini adalah film remaja ‘Ada Apa dengan Cinta’ (Miles Production, 2002). Selain itu ada beberapa contoh film yang bisa digunakan untuk pembelajaran sastra seperti film ‘Pasir Berbisik’, ‘Daun di Atas Bantal’, ‘GIE’, dan beberapa film yang lainnya. Kelebihan dari media audio visual yang berupa film yaitu siswa dapat memadukan indera penglihatan (visual) dan pendengaran (auditori) secara seimbang dan film ‘Ada Apa dengan Cinta’ merupakan film sastra yang di dalamnya terdapat pembelajaran puisi yang dikemas dalam kehidupan remaja. Hal ini diperkuat oleh Hernowo (2004:237) yang menyatakan bahwa film ini sesungguhnya bersumbukan beberapa potongan puisi. Dalam film ‘Ada Apa dengan Cinta’ terdapat tiga puisi yang digunakan, sehingga bacaan wajib sastra untuk siswa kelas X sudah berkurang menjadi dua belas.

Berdasarkan fenomena tersebut penelitian ini dilakukan di SMA Negeri ...... pada kelas X.1 dengan pertimbangan bahwa pembelajaran sastra dalam bidang studi bahasa Indonesia kurang mendapat perhatian siswa terutama hal yang berkaitan dengan puisi. Selain itu penggunaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada SMA Negeri ..... masih dianggap hal baru, sehingga penggunaan media sangat berperan sekali terutama dalam proses belajar mengajar agar berhasil dengan sangat memuaskan. Proses belajar mengajar khususnya pengajaran keterampilan bersastra, peran dan keberadaan guru sangat penting. Untuk itu seorang guru dituntut untuk menunjang tercapainya pengajaran keterampilan bersastra tersebut melalui penggunaan media yang dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan hasil belajar secara maksimal.

PTK Pendidikan Agama Islam Metode Kolaborasi

UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DENGAN MENERAPKAN MODEL PENGAJARAN KOLABORASI PADA SISWA … TAHUN PELAJARAN …

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam kegiatan belajar mengajar yang berlangsung telah terjadi interaksi yang bertujuan. Guru dan anak didiklah yang menggerakannya. Interaksi yang bertujuan itu disebabkan gurulah yang memaknainya dengan menciptakan lingkungan yang bernilai edukatif demi kepentingan anak didik dalam belajar. Guru ingin memberikan layanan yang terbaik bagi anak didik, dengan menyediakan lingkungan yang menyenangkan dan menggairahkan. Guru berusaha menjadi pembimbing yang baik dengan peranan yang arif dan bijaksana, sehingga tercipta hubungan dua arah yang harmonis antara guru dengan anak didik.

Ketika kegiatan belajar itu berproses, guru harus dengan ikhlas dalam bersikap dan berbuat, serta mau memahami anak didiknya dengan segala konsekuensinya. Semua kendala yang terjadi dan dapat menjadi penghambat jalannya proses belajar mengajar, baik yang berpangkal dari perilaku anak didik maupun yang bersumber dari luar anak didik, harus guru hilangkan, dan bukan membiarkannya. Karena keberhasilan belajar mengajar lebih banyak ditentukan oleh guru dalam mengelola kelas.

Dalam mengajar, guru harus pandai menggunakan pendekatan secara arif dan bijaksana, bukan sembarangan yang bisa merugikan anak didik. Pandangan guru terhadap anak didik akan menentukan sikap dan perbuatan. Setiap guru tidak selalu mempunyai pandangan yang sama dalam menilai anak didik. Hal ini akan mempengaruhi pendekatan yang guru ambil dalam pengajaran.

Guru yang memandang anak didik sebagai pribadi yang berbeda dengan anak didik lainnya akan berbeda dengan guru yang memandang anak didik sebagai makhluk yang sama dan tidak ada perbedaan dalam segala hal. Maka adalah penting meluruskan pandangan yang keliru dalam menilai anak didik. Sebaiknya guru memandang anak didik sebagai individu dengan segala perbedaannya, sehingga mudah melakukan pendekatan dalam pengajaran.
Kualitas pembelajaran ditentukan oleh interaksi komponen-komponen dalam sistemnya. Yaitu tujuan, bahan ajar (materi), anak didik, sarana, media, metode, partisipasi masyarakat, performance sekolah, dan evaluasi pembelajaran (Moh, Shochib, 1998). Performance sekolah, dan evaluasi pembelajaran (Moh, Shochib, 1998). Optimalisasi komponen ini, menentukan kualitas (proses dan produk) pembelajaran. Upaya yang dapat dilakukan oleh pendidik adalah melakukan analisis tentang karakteristik setiap komponen dan mensinkronisasikan sehingga ditemukan konsistensi dan keserasian di antaranya untuk tercapainya tujuan pembelajaran. Karena pembelajaran mulai dari perencana, pelaksanaan dan evaluasinya senantiasa merujuk pada tujuan yang diharapkan untuk dikuasai atau dimiliki oleh anak didik baik instructional effect (sesuai dengan tujuan yang dirancang) maupun nurturrant effect (dampak pengiring) (Moch. Shochib: 1999).

Realisasi pencapaian tujuan tersebut, terdapat kegiatan interaksi belajar mengajar terutama yang terjadi di kelas. Dengan demikian, kegiatannya adalah bagaimana terjadi hubungan antara guru/bahan ajar yang didesain dan dengan anak didik. Interaksi ini merupakan proses komunikasi penyampaian pesan pembelajaran. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Arief S Sadiman yang menyatakan proses belajar mengajar pada hakekatnya adalah proses interaksi yaitu proses penyampaian pesan melalui saluran media/teknik/ metode ke penerima pesan. (Arief S, Sadiman, dkk, 1996:13).

Sejalan dengan inovasi pembelajaran akhir-akhir ini termasuk di Sekolah Dasar, yaitu: Kolaborasi. Interaksi belajar mengajarnya menuntut anak didik untuk aktif, kreatif dan senang yang melibatkan secara optimal mental dan fisik mereka. Tingkat keaktifan, kreatifitas, dan kesenangan mereka dalam belajar merupakan rentangan kontinum dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Tetapi idealnya pada kontinum yang tertinggi baik pelibatan aspek mental maupun fisik anak didik. Oleh karena itu, interaksi belajar mengajar dengan paradigma Kolaborasi menuntut anak: berbuat, terlibat dalam kegiatan, mengamati secara visual, menyerap informasi secara verbal.

Dengan demikian, interaksi belajar mengajar idealnya mampu membelajarkan anak didik berdasarkan problem based learning, authentic instruction, inquiry based learning, project based learning, service learning, and cooperative learning. Pola interaksi yang mampu mengemas hal tersebut dapat mengubah paradigma pembelajaran aktif menjadi paradigma pembelajaran reflektif.

Dengan interaksi pembelajaran reflektif dapat membuat anak didik untuk menjadikan hasil belajar sebagai referensi refleksi kritis tentang dampak ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap masyarakat; mengasah kepedulian sosial, mengasah hati nurani, dan bertanggungjawab terhadap karirnya kelak. Kemampuan ini dimiliki anak didik, karena dengan pola interaksi pembelajaran tersebut, dapat membuat anak didik aktif dalam berfikir (mind-on), aktif dalam berbuat (hand-on), mengembangkan kemampuan bertanya, mengembangkan kemampuan berkomunikasi, dan membudayakan untuk memecahkan permasalahan baik secara personal maupun sosial.

Agar hasil ini dapat optimal, guru dituntut untuk mengubah peran dan fungsinya menjadi fasilitator, mediator, mitra belajar anak didik, dan evaluator. Ini berarti, guru harus menciptakan interaksi pembelajaran yang demokratis dan dialogis antara guru dengan anak didik, dan anak didik dengan anak didik (Moh. Shochib: 1999; dan Paul Suparno dkk: 2001).

Dengan interaksi pembelajaran yang mengemas nilai-nilai tersebut dapat membuat pembelajaran lingking (link and math atau life skill) dan delinking (pemutusan lingkungan negatif), diversifikasi kurikulum, pembelajaran kontekstual, kurikulum berbasis kompetensi, dan otonomi pendidikan pada tingkat sekolah taman kanak-kanak dengan manajemen berbasis sekolah, dan bertujuan untuk mengupayakan fondasi dan mengembangkan anak untuk memiliki kemampuan yang utuh yang disebut: Pendidikan Anak Seutuhnya (PAS).

Pada dasarnya dalam kehidupan suatu bangsa, faktor pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup bangsa tersebut. Secara langsung maupun tidak langsung pendidikan adalah suatu usaha sadar dalam menyiapkan pertumbuhan dan perkembangan anak melalui kegiatan, bimbingan, pengajaran dan pelatihan bagi kehidupan dimasa yang akan datang. Tentunya hal ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, anggota masyarakat dan orang tua. Untuk mencapai keberhasilan ini perlu dukungan dan partisipasi aktif yang bersifat terus menerus dari semua pihak.

Guru mengemban tugas yang berat untuk tercapainya tujuan pendidikan nasional yaitu meningkatkan kualitas manusia Indonesia, manusia seutuhnya yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani, juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta terhadap tanah air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu pendidikan nasional akan mampu mewujudkan manusia-manusia pembangunan dan membangun dirinya sendiri serta bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Depdikbud (1999).

Berhasilnya tujuan pembelajaran ditentukan oleh banyak faktor diantaranya adalah faktor guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar, karena guru secara langsung dapat mempengaruhi, membina dan meningkatkan kecerdasan serta keterampilan siswa. Untuk mengatasi permasalahan di atas dan guna mencapai tujuan pendidikan secara maksimal, peran guru sangat penting dan diharapkan guru mampu menyampaikan semua mata pelajaran yang tercantum dalam proses pembelajaran secara tepat dan sesuai dengan konsep-konsep mata pelajaran yang akan disampaikan.

Dengan menyadari kenyataan tersebut di atas, maka dalam penelitian ini penulis mengambil judul “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam Dengan Menerapkan Model Pengajaran kolaborasi Pada Siswa … Tahun Pelajaran …

2010/10/23

Surat Untuk Guru

Saat itu, ada seorang kawan yang mengirimkan tulisannya untuk bisa diterbitkan di salah satu kolom pada sebuah media online di daerah Sidoarjo. Kolom Suara Guru namanya. Bukan tiba-tiba ia mengirimkan tulisannya itu. Sayalah yang memang dengan sengaja memintanya agar bersedia untuk mengirimkan tulisan-tulisannya tentang pendidikan, bahkan saya pun mengajaknya untuk menjadi pengelola kolom Suara Guru di Infosidoarjo.com yang kebetulan juga milik saya.
Tak disangka tulisan itu diterima dengan sangat baik oleh para pembaca. Bahkan ratingnya pun mengalahkan semua tulisan-tulisan berita yang selama ini diterbitkan. Terlihat dari jumlah "klik" pada tulisan itu yang terus bertambah (maaf, tidak saya beritahukan berapa jumlahnya, privasi).
Oleh karena itu saya ingin para pembaca blog ini juga dapat menikmati dan merenungkan nilai-nilai hikmah yang ada pada tulisan itu. Bagi para pembaca yang ingin mengabadikannya dalam bentuk cetak juga dapat mendownloadnya pada link yang telah disediakan (disamping). Akhirnya, selamat menikmati.

SURAT UNTUK GURU
Harapan dari orang tua siswa
*Oleh: Ahmad Shobirin, S. Pd.

Hari itu adalah hari libur, membuat saya merasa rindu untuk membuka dan membaca kembali buku-buku yang pernah saya beli dikala mahasiswa. Maklum, semenjak menjadi Guru saya jadi jarang membaca buku-buku lain selain buku-buku pelajaran yang akan disampaiakan kepada para Siswa. Tugas-tugas administrasi sekolah juga sebagai salah satu penyebabnya.Salah satu buku yang menginspirasiku dan membuatku bersemangat untuk tidak menjadi guru yang biasa saja yaitu buku yang ditulis oleh Eko Prasetyo “GURU: MENDIDIK ITU MELAWAN”. Di dalam bukunya itu ia menuliskan surat dari seorang wali murid yang ditujukan kepada ibu guru yang mendidik putranya. Isinya menyadarkan saya tentang bagaimana seharusnya seorang guru. Beginilah yang dituliskannya:

[]
Surat untuk ibu guru
Yang sekarang mendidik putraku

Ibu guru yang baik, saya titipkan anak saya kepada anda. Saya lakukan ini degan ketulusan, kebanggaan dan perasaan was-was. Maklumlah sebagai orang tua saya terlalu cemas dengan dirinya. Saya ingat ketika masa-masa ia baru hadir ke dunia ini; tangisan dan tawanya menjadikan kami tenggelam dalam perasaan haru. Kini waktunya ia sekolah dan kami percayakan, putera kami sepenuhnya kepada anda. Sebagaimana dulu ibu dan ayah saya mempercayakan kepada anda ibu guru.

Ibu guru tahu, ia punya harta yang tak ternilai harganya, yaitu keterusterangan. Kalau ia tak suka sesuatu ia tak ragu berpendapat. Ini adalah bakat alamiah yang dipunyai oleh semua anak. Saya ingin ibu menjaga sikapnya itu. Kami ingin ibu memandunya dan melatihnya untuk berani bicara jujur dan terus terang. Lewat surat ini kami ingin berbagi pengalaman dan saran dalam memahami putera kami.

Pertama-tama, saya meminta ibu guru untuk menjaga dan menghargai sikapnya itu, ibu tahu, anak saya mungkin tidak tergolong pintar, tapi sikap keterustaangannya itu, jika dipahat dan diperkuat maka ia sama pintarnya dengan yang lain. Semangat anak saya akan menyala-nyala jika jika ibu guru murah dalam memuji dan memberi dukungan; dan akan menyusut jika ia terlalu banyak diremehkan dan dibohongi. Beritahukan kepadanya apapun yang ditanyakan dan kami berharap ibu tidak marah,kalau suatu saat nanti putra kami mengkritik ibu guru. Pertanyaan adalah kesukaannya, dan kami berharap ibu menjaganya dan tetap memberi iklim yang membuat kepampuannya bertanya itu hidup dan tumbuh.

Terus terangnlah tentang apa yang ibu guru ketahui. Kami ingin putra kami bisa belajar tentang kenyataan hidup yang sebenarnya. Walau kenyatan itu menyakitkan tapi katakanlah yang sesungguhnya pada mereka. Saya ingin ibu guru melatihnya untuk tetap optimis melihat realitas yang buram dan menyalakan api semangatnya untuk terus belajar. Sikap terus terang dari ibu guru akan memberinya kekuatan dalam melawan kejamnya realitas kehidupan dan sesekali berikan kepercayaan kecil padanya, untuk malakukan pekerjaan-pekerjaan tangan. Saya ingin ibu guru melatih kemandiriannya supaya tumbuh rasa percaya dirinya. Saya tidak ingin ibu guru menjadikan dirinya anak yang sempurna tapi tidak berpeluh keringat, ia harus bisa dan mampu melakukan pekerjaan tangan apapun.

Ibu guru kami yang baik, langkah anak kami yang masih rapuh ini butuh bimbingan dan arahanmu. Tolong beri dia semangat saat mencari jalan untuk maju, saat dia merangkak ketika dia seharusnya berlari dan saat dia diam ketika dia tahu dia harus memimpin. Dia masih terlalu muda, jadi segala sesuatu yang wajar kalau dia tidak begitu konsisten. Dia masih belia, jadi sesuatu yang normal jika kadang terlalu nekad. Dia masih terlalu hijau, jadi seringkali ia berpikir yang aneh-aneh. Jangan ibu guru memarahinya atau menjulukinya dengan nama-nama yang menyakitkan. Tolong berikan perlakuan yag sama pada anak kami maupun teman-temannya, bahwa kalu mereka semua murid-murid istimewa.

Jika ia punya kelemahan dan keterbatasan, tolong secara diam-diam, ibu catat dan ibu rekam. Kelak katakan padanya sembari membantunya mengatasi masalah itu. Katakan juga pada kami sehingga kami ikut membantu dan bisa melibatkannya untuk memecahkan keterbatasan itu. Mengajari anak yang kini sedang menemukan identitas dan meraba harga dirinyaa memang tidak mudah, tapi karena itulah, kita bisa bertukar pengalaman dan pengetahuan.

Latihlah dirinya untuk berorganisasi, karena disana dirinya akan menemukan mutiara perilaku agung, yakni solidaritas dan cinta pada sesama. Latihlah dirinya untuk memahami persoalan yang lebih luas dari kepentingannya sendiri. Saya ingin ibu mengajarinya untuk berkorban dan memahat sikap kepedulian. Anak saya datang kepada ibu dengan tekad untuk belajar. Mohon ibu guru jangan mengecewakannya.

Jadikan masa sekolah itu sebagai sesuatu yang mneyenangkan, menarik dan menggairahkan baginya. Ajaklah dia sesekali keluar untuk melihat kalu pendidikan itu, bukan hanya dari bangku ke bangku, tapi juga lewat kenyataan keseharian. Seya ingin ketika dia menninggalkan kelas ibu dirinya memliki keyakinan yang lebih atas kemampuannya sendiri. Kelak ketika ia meniggalkan kelas ibu, saya berharap dirinya akan memiliki kecintaan besar pada pengetahuan dan sesamanya. Sebagai pelajar dan sebagai pribadi, kami sangat berharap ibu bisa tekun membimbing dan mengarahkannya.

Pada akkhirnya, bantulah putera kami menemukan harapan diatas bongkahan kehidupan bangsa yang burang dan menyakitkan ini. Tahukah ibu, tahun ini ibu akan menjadi salah seorang yang paling penting dalam hidupya. Dia akan memutuskan, untuk menru atau menolak nilai-nilai yang ibuguru sampaikan. Dia mungkin akan menghormati dan mengingat ibu sepanjang hayatnya, atau sebaliknya, dia tidak lagi menginagat ibu dan merasa kecil hati atas tindak-tanduk ibu yang mungkin bertolak belakang dengan nilai yang ibu ajarkan.

Sejujurnya, saya sebagai orang tua, ingin ibu sebagai seseorang yang paling dikaguminya. Tapi untuk ini, ibulah yang bisa menentukan. Oh ya, pada saat tahun ajaran berakhir, mohon berikan ucapan terimakasih dan pelukan hangat padanya. Berterimakasihlah kepadanya karena telah menjadi bagian kehidupan ibu, sebagaimana saya sangat berterimaksih kepada ibu karena telah menjadi bagian kehidupan anak saya.

Kami tahu, diatas segala harapan kami ibu guru sendiri didera oleh banyak problem. Tuntutan akan kesejahteraan hingga status membuat kami semua juga ingin berbuat banak untuk anda. Jadikan putera kami menjadi seorang yang kelak akan memahami profesimu dan kelak akan bisa berbuat banyak untukmu. Jangan ragu untuk meminta bantuan solidritas maupun perjuangan dari kami. Karena kami tahu, tahun ini anda menjadi bagian dari kehidupan kami sekeluarga.

Dengan cinta dan penuh harapan, Ayah dari siswa anda.
Salam dari kami sekeluarga.
[]

Membaca kembali surat itu, menyadarkan saya bahwa orang tua mempunyai harapan yang begitu besar kepada putra putrinya, begitu pula anak-anak sendiri, mereka adalah pengisi masa depan kelak. Semoga kita (para guru) selalu bertekad untuk mengemban amanat itu dengan kesungguhan dan ketulusan. Untuk Indonesia dan kehidupan yang lebih baik.

Salam hormat untuk semua guru.

*Penulis adalah Guru Di SD Pembangunan Jaya 2 Gedangan Sidoarjo.
e-mail pakguruobi@gmail.com

Sekolah Unggul

Sekolah unggul adalah sekolah efektif. Demikian dikemukakan oleh DR. Fasli Djalal, Ph.D dalam pemaparannya tentang sekolah unggul. Beliau menyampaikan bahwa terdapat 11 karakter sekolah yang efektif. Diantaranya adalah, kepemimpinan yang profesional; visi dan tujuan bersama; lingkunngan belajar; konsentrasi pada belajar mengajar; harapan yang tiggi; penguatan, pengayaan, pemantapan yang positif; pemantauan kemajuan; hak dan tanggungjawab peserta didik; pengajaran yang penuh makna; organisasi pembelajar; kemitraan keluarga dengan sekolah. Apa yang disampaikan oleh dr. Fasli Djalal, Ph.D ini telah ditulis oleh Harris and Bennet dalam bukunya “Schooll Effetiveness Research: Meta Analisis”Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional mengamanatkan pengelolaan pendidikan dilaksanakan secara terdesentralisasi. Globalisasi menuntut penyelengaraan pendidikan yang demokratis dan akuntabel untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional sehingga dapat bersaing dengan pendidikan Negara-negara maju. Salah satu peran aktif dari lembaga pendidikan non formal sangat diperlukan dalam mewujudkan peningkatkan kualitas pendidikan.
Upaya peningkatan kualitas pendidikan dan membentuk sekolah unggul tidak terlepas dari peran berbagai pihak sebagai stakeholder dunia pendidikan. Pemerintah, tenaga pendidik dan kependidikan serta masyarakat harus mampu secara bersama-sama merumuskan strategi untuk kemajuan dunia pendidikan. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan dituntut untuk mampu merumuskan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kemajuan kualitas pendidikan yang pada gilirannya akan mampu diterjemahkan dengan baik oleh para pendidik dan tenaga pendidikan dengan penuh komitmen dan profesionalitas. Demikian pula dengan masyarakat. Kelompok eksternal dalam struktur pendidikan ini harus mampu memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap pelaksanaan pendidikan. Tidak hanya itu, masyarakat juga dituntut untuk bisa menjadi mitra yang baik bagi dunia pendidikan. Jika semua itu bisa dilakukan, maka pendidikan yang berkualitas pun tidak lagi hanya mimpi belaka. Secepatnya, kita akan benar-benar merasakan kualitas pendidikan yang semakin baik.
Ingin lihat bagaimana paparan DR. Fasli Djalal, Ph.D tentang sekolah unggul? silahkan download paparannya di link yang sudah disediakan di samping.

2010/08/14

Kondisi Pendidikan di Indonesia

oleh: Prof. Budi Darma (Guru Besar Unesa)
pokok-pokok pikiran dalam Seminar Dari Guru Untuk Guru, diselenggarakan oleh Dwijakarya dan Surabaya Post, di Ruang Lebah Biru PT. Telkom Divre V, Minggu, 7 Juni 2009

Mutu
Pada hari Minggu, 24 Mei 2009, bertempat di Gedung Kesenian Jakarta, Bale Sastra Kecapi bekerjasama dengan Federasi Teater Indonesia menyelenggarakan sebuah panel antara budayawan dan para pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Panel diselenggarakan antara lain untuk mengetahui kebijakan para calon itu dalam masalah kebudayaan seandainya mereka terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 8 Juli 2009. Berbagai masalah kebudayaan dibicarakan dalam panel tersebut, baik yang bersifat makro maupun yang bersifat mikro.

Karena pendidikan pada hakikatnya berada di bawah payung kebudayaan, maka berbagai masalah pendidikan pun muncul. Salah satu masalah pendidikan yang dipertanyakan adalah kebijakan mengenai Ujian Nasional. Oleh salah satu pasangan calon dijelaskan, bahwa pendidikan harus mempunyai standard, dan acuan standard adalah mutu. Jangan sampai, katanya, belajar dan tidak belajar sama saja, yaitu sama-sama lulusnya. Karena waktu amat terbatas, permasalahan Ujian Nasional ini, dalam panel itu, tidak mungkin digali lebih jauh.

Pendidikan, memang, mau tidak mau pasti berkaitan dengan mutu, apalagi, ketika kita sudah terikat pada kesepakatan-kesepakatan internasional. Salah satu butir kesepakan itu adalah, dalam pengelolaan pendidikan, individu-individu dan lembaga-lembaga asing diperbolehkan masuk ke Indonesia. Akibat-akibat kesepakatan-kesepakatan ini jelas, yaitu, dunia makin terbuka terhadap persaingan dalam masalah apa pun, termasuk masalah pendidikan. Persaingan dengan kekuatan-kekuatan asing bukan hanya terjadi di luar Indonesia, tapi juga di Indonesia sendiri. Maka, hukum “survival of the fittest”pun, mau tidak mau pasti berlaku.

Jalan pintas

Pada waktu masih berkuasa, Bung Karno mempunyai cita-cita luhur untuk menjadikan bangsa Indonesia bukan sekedar “bangsa tempe,” tapi bangsa yang bermartabat. Untuk menuju ke taraf bangsa yang bermartabat, Bung Karno menempuh berbagai cara, antara lain melalui pendidikan tinggi. Dalam sebuah instruksi melalui Kementerian PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan), Bung Karno menyatakan bahwa dalam jangka waktu lima tahun (sejak tahun awal tahun 1960-an), Indonesia harus memiliki mahasiswa paling sedikit satu persen dari jumlah penduduk. Pada waktu itu, jumlah universitas masih sangat terbatas, yaitu UI, UGM, ITB, IPB, dan Unair. Karena itu, di setiap ibu kota propinsi harus ada universitas negerinya. Maksud luhur ini tidak lepas dari efek samping, yaitu orientasi kualitas dikalahkan oleh orientasi kuantitas.
Dengan alasan berbeda, pada waktu Presiden Soeharto berkuasa, jumlah mahasiswa juga digelembungkan. Menurut pengakuan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, Prof. Soekaji Ranoewihardjo, beberapa kali Presiden Soeharto memberi instruksi lesan, agar jumlah mahasiswa ditambah. Alasannya sederhana: jumlah lulusan Sekolah Menengah Atas sangat banyak, dan karena itu tidak mungkin terserap oleh pasaran kerja. Orientasi kualitas, sekali lagi, dikalahkan oleh orientasi kuantitas. Pengangguran, dengan demikian, untuk sementara ditunda.

Karena program Keluarga Berencana baru dilaksanakan dengan efektif pada tahun 1970-an, sampai dengan awal tahun 1990-an jumlah siswa dan mahasiswa kurang bisa dikendalikan. Semua klas harus diisi dengan jumlah siswa yang melebihi kapasitas klas, dan karena itu tidak mungkin untuk tidak menaikkan siswa ke klas yang lebih tinggi, dan tidak mungkin untuk tidak meluluskan siswa ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Meskipun resminya ada ujian kenaikan klas dan ujian untuk kelulusan, kenyataannya semua siswa naik klas dan semua siswa lulus.

Jalan pintas untuk mengatasi masalah kompleks ini diperparah lagi oleh sebuah paradigma yang tercipta pada waktu Daoed Joesoef menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Menurut paradigma ini, pada hakikatnya tidak ada siswa bodoh, dan tidak ada pula mahasiswa bodoh. Mahasiswa pasti tidak bodoh, karena apa pun yang terjadi, mahasiswa sudah lulus Sekolah Menengah Atas. Siswa Sekolah Menengah Atas pun tidak mungkin bodoh, karena siswa ini sudah lulus Sekolah Menengah Pertama, dan demikianlah seterusnya. Anak Sekolah Dasar pun tidak mungkin bodoh, karena kalau bodoh, tidak mungkin dia diterima di Sekolah Dasar.

Kalau ada siswa tidak naik klas atau tidak lulus untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, maka, menurut paradigma ini, biang keladinya tidak lain adalah kebodohan gurunya. Lalu, kalau sampai ada mahasiswa tidak lulus, maka, menurut paradigma ini pula, dosennya pasti bodoh. Paradigma ini, dengan sendirinya, memicu apatisme: untuk apa belajar tokh saya mesti naik klas, apa gunanya saya belajar, sebab tanpa belajar pun aku pasti lulus. Pola pikir guru dan dosen pun, dengan sendirinya, ikut terkondisikan oleh paradigma ini: untuk apa saya bekerja keras, tokh tugas saya hanya menaikkan siswa ke klas yang lebih tinggi dan meluluskan siswa untuk bisa ditampng di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Jumlah siswa dan mahasiswa baru dapat agak terkendali pada awal tahun 1990-an, ketika hasil program Keluarga Berencana sudah mulai tampak. Meskipun demikian, pada hakikatnya pendidikan masih bersifat massal: ratio guru-siswa kurang seimbang, demikian pula ratio dosen-mahasiswa. Desakan untuk menaikkan dan meluluskan siswa dan mahasiswa “secepat-cepatnya” dan “sebanyak-banyaknya” masih sangat terasa.
Untuk membaca lebih lengkap materi ini, silahkan download pada link download di samping

2010/08/12

Menulis PTK

Lahirnya Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, yang berlaku sejak 10 November 2009 membuat kewajiban menulis karya ilmiah bagi para guru menjadi berubah. Semula, guru wajib menulis karya ilmiah untuk kenaikan pangkat dari Golongan IV/a ke IV/b, dari IV/b ke IV/c, dan seterusnya. Namun sekarang kewajiban menulis karya ilmiah sudah dimulai sejak guru akan mengusulkan pangkat dari Golongan III/b ke III/c. Bagi sebagian guru kebijakan tersebut tidaklah mudah untuk dilaksanakan, mengingat beban tugas para guru sebagai pengajar menyita cukup banyak waktu, sehingga kesempatan untuk menulis pun hampir tidak ada. Pernyataan tersebut sebagaimana yang terungkap dalam sebuah acara konferensi guru Internasional di Jakarta Minggu (4/3).Menanggapi hal di atas, maka majalah ilmiah guru DWIJAKARYA PPLP PGRI JATIM berinisiatif untuk membantu para guru dalam membekali diri dengan kamampuan menulis karya ilmiah khususnya Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Para guru akan didampingi dalam pembuatan PTK sampai benar-benar menjadi sebuah karya ilmiah.
Itulah salah satu peran yang dilakukan oleh lembaga penerbit majalah untuk para guru. Dalam kesempatan ini, saya akan memberikan file materi dari salah satu narasumber yang bisa rekan-rekan pergunakan untuk belajar membuat PTK. Khususnya bagi rekan-rekan yang belum berkesempatan untuk mengikuti Diklat yang telah diadakan pada tanggal 6 Juni 2010 di BLPT Jawa Timur. Untuk download file nya silahkan klik http://www.ziddu.com/download/11175336/MENULISPTK-BARU.doc.html
Semoga apa yang telah kami berikan ini bermanfaat. Selamat belajar dan mencoba membuat PTK.

PTK

Lahirnya Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, yang berlaku sejak 10 November 2009 membuat kewajiban menulis karya ilmiah bagi para guru menjadi berubah. Semula, guru wajib menulis karya ilmiah untuk kenaikan pangkat dari Golongan IV/a ke IV/b, dari IV/b ke IV/c, dan seterusnya. Namun sekarang kewajiban menulis karya ilmiah sudah dimulai sejak guru akan mengusulkan pangkat dari Golongan III/b ke III/c. Bagi sebagian guru kebijakan tersebut tidaklah mudah untuk dilaksanakan, mengingat beban tugas para guru sebagai pengajar menyita cukup banyak waktu, sehingga kesempatan untuk menulis pun hampir tidak ada. Pernyataan tersebut sebagaimana yang terungkap dalam sebuah acara konferensi guru Internasional di Jakarta Minggu (4/3).
Menanggapi hal di atas, maka majalah ilmiah guru DWIJAKARYA PPLP PGRI JATIM berinisiatif untuk membantu para guru dalam membekali diri dengan kamampuan menulis karya ilmiah khususnya Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Para guru akan didampingi dalam pembuatan PTK sampai benar-benar menjadi sebuah karya ilmiah.
Itulah salah satu peran yang dilakukan oleh lembaga penerbit majalah untuk para guru. Dalam kesempatan ini, saya akan memberikan file materi dari salah satu narasumber yang bisa rekan-rekan pergunakan untuk belajar membuat PTK. Khususnya bagi rekan-rekan yang belum berkesempatan untuk mengikuti Diklat yang telah diadakan pada tanggal 6 Juni 2010 di BLPT Jawa Timur. Untuk download file nya silahkan klik tulisan "Belajar PTK 1" pada Link download yang ada di samping.
Semoga apa yang telah kami berikan ini bermanfaat. Selamat belajar dan mencoba membuat PTK.